Moderen

Anak Indonesia Dalam Arus Modernisasi


Setiap kali memperingati Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli setiap tahunya, kita pantas prihatin melihat perkembangan anak-anak akhir-akhir ini. Selanjutnya, ini memaksa kita untuk merenungkan kembali nasib dan masa depan mereka. Anak-anak merupakan aset bangsa yang sangat berharga, jika aset ini tidak dijaga maka bisa dipastikan dikemudian hari bangsa ini mengalami krisis generasi yang mempuni, karena generasinya mengalami disorientasi dan kehilangan makna hidup. 
Masa depan anak-anak Indonesia sebagai aset berharga bangsa harus di selamatkan. Langkah nyata dan strategis harus dilakukan untuk menyelamatkan masa depan anak-anak dari krisis orientasi dan makna kehidupan yang semakin melanda. Tidak bisa kita pungkiri bahwa anak-anak Indonesia sekarang ini berada dalam kungkungan pengaruh budaya kapitalistik yang instan, hedonis dan glamour seiring berjalanya arus modernisasi.
 Modernisasi yang diikuti dengan berkembang dan menjalarnya arus informasi yang cepat menyebabkan arus budaya ini juga semakin cepat ”menjamah” masyarakat hingga keseluruh pelosok negeri.  Hal ini telah memberi dampak negatif yang cukup signifikan bagi perkembangan kepribadian anak-anak. Televisi sebagai bagian penting dari perangkat tehnologi informasi sangat berperan penting, tidak ada lagi tempat tanpa televisi. Televisi telah menjadi bagian keseharian yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan anak-anak. Data menunjukkan anak usia SD-SMP mengisi waktu hingga 30-35 jam seminggu untuk menonton televisi (kompas, 23/7/08). Televisi telah menjadi kotak ajaib yang berisi beraneka warna, lokal maupun global tayangan yang sangat menarik untuk dilewatkan bagi anak-anak. 
Meskipun, kalau kita cermati tayangan televisi di seluruh stasiun yang ada, banyak didominasi oleh tayangan yang mempresentasikan gambaran kehidupan yang glamour, instans dan hedonism sebagaimana tertuang dalam sinetron dan infotainment. Sinetron remaja ditayangkan hingga berpuluh-puluh episode yang membuat penontonya harus mengikuti dari setiap detil demi detail episode yang ditanyangkan. Strategi tayang dengan ending yang membuat penasaran penontonya dalam setiap episode menjadi strategi yang ampuh yang telah membuat penontonnya rela meluangkan waktunya untuk mengikuti. Padahal sinetron tersebut tayang pada jam-jam dimana anak-anak harus belajar. Tayangan –tayangan itu telah menyesaki kepala anak-anak, hingga menjadi cerita keseharian yang banyak dibicarakan. Sinetron juga banyak menampilkan anak-anak sebagai modelnya, terkadang mengeksploitasi anak-anak dalam alur cerita yang tidak rasional.  
Selain itu, muatan televisi banyak menyuguhkan adegan yang berbau kekerasan, seksualitas dan mistis. Catatan Yayasan Pengembangan Media Anak sepanjang tahun 2006-2007 menyebutkan adegan kekerasan dan seksualitas dalam tayangan televisi sangat dominan, mencapai hampir 50 % menyangkut kekerasan, seperti mengancam, melecehkan, membentak, memaki dan melotot.   
 Proses pembentukan karakter dan kepribadian dalam diri anak-anak melalui apa yang mereka lihat dan dengar sangat efektif. Tayangan televisi dengan figur dan tokoh yang ditampilkan telah menjadi model yang dengan mudah ditiru oleh anak-anak. Pada kalangan remaja, keinginan untuk menjadi seperti figur idola terminifestasi dalam berbagai model perilaku, seperti cara bicara, cara berpakaian (fashion), dan bergaul. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana ucapan seorang model remaja yang kemudian menjadi trend dan ditiru oleh masyarakat di seluruh antero negeri yang bahkan hingga kini masih akrab kita dengar dari anak-anak (remaja), misalnya; capek deh....mana becek ga da ojek, serta ya iyalah masa iya dong dengan logat khas sang idola. Serta berbagai model fashion yang menjadi bagian gaya hidup dan cara bergaul mereka.   
Hanphone dengan fitur yang canggih disertai kemampuan akses internet juga menjadi bagian perangkat yang mempengaruhi kepribadian anak-anak. Hanphone bukan lagi menjadi barang langka bagi anak-anak. Handphone telah menjadi bagian gaya hidup yang tidak bisa dilepaskan oleh anak-anak. Fitur handphone yang sisertai dengan camera video, bluetooth dan infra red semakin memudahkan anak-anak mengakses hal-hal yang tidak layak mejadi konsumsi mereka. Seperti pornografi yang akhir ini marak tersebar melalui HP-ke HP. Terjadinya berbagai kasus seksual yang melibatkan anak-anak remaja menjadi bukti bahwa perilaku seksual remaja telah begitu terkontamisasi dengan budaya pergaulan bebas, seks pra nikah dan kekerasan seksual lainya.

Peran semua pihak

Peran semua pihak sangat dibutuhkan untuk membebaskan anak-anak dari trends budaya yang tidak mendidik dan mengabaikan nilai-nilai budaya. Bimbingan, serta kasih sayang orang tua menjadi bagian penting dalam peran tersebut. Kepedulian orang tua dalam memberi penjelasan dan memilihkan program televisi yang tepat dan mendidik bagi anak-anak harus dilakukan. Tayangan televisi dengan kode (BO) atau bimbingan orang tua hanya menjadi label yang tidak mempunyai arti, karena waktu tayangnya pada jam-jam dimana orang tua tidak dapat mendampingi anak-anak sehingga apapun kodenya anak-anak akan dapat menyaksikanya. 
Disamping peran orang tua, peran kelembagaan pendidikan sangat penting dalam memberikan fungsi bimbingan moral pada anak-anak. Karena dunia pendidikan mempunyai mandat luhur dari orang tua untuk memberikan pendidikan yang baik bagi anak didiknya. Seharusnya kelembagaan pendidikan bukan hanya menjadi institusi untuk mentransfer ilmu pengetahuan, akan tetapi juga menjadi sarana  komunikasi yang manusiawai untuk membentuk manusia seutuhnya, yaitu pribadi yang tangguh, cerdas, berkepribadian, mempunyai orientasi dan bermoral. 
Keberpihakan dan tanggung jawab perusahaan untuk ikut andil dalam menumbuhkan anak-anak Indonesia. Fungsi penyiaran sebagai social control dan pendidikan harus diterapkan. Bukan hanya pamrih keuntungan karena ratting yang tinggi yang banyak menyedot iklan masuk pada setiap program yang ditayangkan, akan tetapi juga bagaimana muatan program yang ditayangkan memberi inspirasi dan memberikan nilai pendidikan yag luhur bagi anak-anak. Serta diaturnya jam tayang dengan  pilihan-pilihan yang disesuaikan dengan khalayak yang menerimanya. 
Selain itu, memaksimalkan peran kontrol pemerintah dalam hal kebijakan penyiaran. KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) selama ini dinilai kurang dalam memberikan pengawasan terhadap tayangan media massa. Buktinya, berbagai tayangan yang tidak mendidik masih mendominasi muatan sebagian besar produk penyiaran. Memberikan pengaturan jam tayang yang ketat sehingga tayangan yang seharusnya tidak dinikmati anak-anak tidak dapat dinikmati, serta memberi sanksi yang tegas bagi stasiun yang melanggar. Upaya yang sinergis dan tanggung jawab bersama yang besar akan menyelamatkan anak-anak Indonesia dari keterpurukan
  
DENI GANTENG

 HJKLJKL
































L;'KL;'JKL;JKL